“ YUSUF “
Tubuh kekar, wajah ceria, senyum
yang khas, meyakinkan setiap tamu yang datang, tanpa mengenal lelah, disapa
satu persatu para tamu, memberikan kesan kepada setiap orang yang datang sikap
respek yang tinggi tanpa membedakan apakah dia pejabat atau masyarakat biasa.
Ia seorang pribadi yang lima
tahun lalu saya kenal, bahkan dalam konteks temporer, sesering saya bertemu dalam
kapasitas tertentu. Hari itu saya menghampiri
kediamannya bersama kedua teman se-etnik. Saya menghampiri dia di ruang pribadinya,
dalam kesederhanaan, dia memeluk saya sembari mengeluarkan sejumlah kata tanda
persahabatan altruistis seorang sahabat
dan bukan sebagai seseorang dalam patnership pada tatanan tertentu dalam sebuah
struktur.
Terlintas dalam benak saya, cerita lama dalam Alkitab
Perjanjian Lama, cerita tentang Yusuf, seorang Anak Keturunan Daud,
seorang anak dari dua belas bersaudara yang menjadi figur seorang pemimpin
bangsa Israel pada monentum-momentum terpenting ketika keluarga ini mengalami
berbagai cobaan hidup sampai pada akhirnya Yusuf tampil sebagai seorang raja
yang memerintah di kala itu, menghantar rakyaknya menjadi bangsa yang terhormat
di mata dunia di sekitarnya. Yusuf dalam cerita Alkitab, menampilkan sosok
pemimpin kontekstual, dimana ia pada jamannya menjadi pemimpin yang bijaksana
dengan petunjuk mimpi dan penafsir mimpi ulung yang pada akhirnya menghatar dia
pada sebuah kesuksesan.
Cerita Yusuf dalam kisah Alkitab Perjanjian Lama
membawa nuansa ilmiah dari zaman ke
zaman. Hegel, seorang filsuf sosialis
yang terkenal dengan konsep ”dialektika”, menguraikan kondisi situasional dunia
Eropa di abad revolusi, dan ketika itu, muncul teorinya yang terkenal, ” thesis,
anti thesis dan synthesis ”.
Yusuf seperti cerita Alkitab, dalam situasi konkretnya,
ia adalah seorang sederhana yang datang dari keluarga besar sedang dalam
situasi genting menghadapi masa paceklik. Ibu pertiwi tidak menghasilkan pangan
yang berkecukupan bagi keluarganya adalah ”thesis”. Ia harus mengalami situasi
kemalangan, di mana harus dijual, menjadi budak dan berbagai pengalaman hidup
yang dialami Yusuf sebagai akibat dari kondisi keluarganya merupakan ”Anti
Thesis”. Namun, pada akhirnya, Yusuf dengan petunjuk Tuhan melalui
mimpi membawa dia menjadi seorang pemimpin yang adalah ”Syntesa” dari sebuah
proses panjang dan melelahkan.
D.H. Lawrence dalam novelnya, ”Lady Chatterley’s Lover”
sebuah ekspresi sastra yang menurut hemat saya, maha karya yang bernilai tinggi. Lawrence menulis, ”...
Ia mengalami ajaibnya cinta ... Ah, jauh
dibawah, palung-palung, terkuak, bergulung, terlebih... terbelah....”. ”Apa yang masuk menyusup ke dalam dirinya kian lama kian dalam?
Bertambah dan bertambah hempasan, bertambah jauh pula ia jadi segara yang mengguncang
sampai di sebuah pantai? Disinilah deru mereda, laut lenyap, ia hilang, ia tak
ada, dialah ”CINTA”.
Hari itu, senin 25 Mei 2009. Hari itu 53 tahun lalu
” Yusuf ”alias Yusuf Melianus Maryen, S. Sos, MM lahir. Hari itu menurut Yusuf
Melianus Maryen, ia menuliskan ”DATA KARUNIA HIDUP WAKTU TUHAN
”. Lalu apa data-data itu? Mengalir dari
mulut seorang anak kampung, ia
menuturkan, ” Hari ini sejak pukul 04.00 subuh, saya sudah berumur 53 tahun, sudah 636 bulan , 2756 minggu,
19.345 hari, 457.920
jam, 27.475.200 menit, 439.603.200 nafas saya lalui ”. Dari
data karunia hidup waktu Tuhan ini, ia
menyimpulkan, ”TERNYATA WAKTU TUHAN ITU ANUGERAH YANG MAHAL ”.
Pertanyaannya,
mengapa waktu Tuhan itu mahal? Iapun dengan polos dan tulus mengatakan, ” .....
karena satu detik, satu menit, satu jam sulit diprediksi.....hidup ”.
”Yusuf”
adalah anak kampung Opiaref sebuah distrik di bagian timur pulau Biak. Dia
adalah mantan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Jayapura dan
terlebih ia adalah seorang pimpinan tertinggi di kabupaten Biak Numfor alias
seorang Bupati. Ia tidak bermimpi, ia juga bukan penafsir mimpi, ia memiliki
visi yang visioner pada tatanan realitas kepemimpinannya sebagai bupati yang
mendapatkan kepercayaan masyarakat kabupaten Biak Numfor periode kedua
kepemimimpinannya.
”Yusuf”, telah berumur 53 tahun. Menjadi pemimpin
adalah sebuah mimpi. Mimpi yang visioner telah menjadi kenyataan seperti cerita
Alkitab di zaman Yusuf dan saudara-saudaranya ketika mengalami saat-saat
tersulit. ” Yusuf” anak Papua hidup dalam zaman yang berbeda. Ada aspek kesamaan
dalam perbedaan zaman pada dunia mereka berdua. Dialektika hidup adalah nuansa
pasang-surutnya gelombang cinta seperti makna cinta dalam Lady Chatterley’s
lover.
Yusuf dan ” Yusuf ” dengan cara thesis kepemimpinan
kontekstual saat itu, anti thesis, melalui deru dan debur, samudera dengan
gelombang gemuruh yang tak kunjung
putus, jauh dibawah, palung-palung terkuak, bergulung, terbelah...cinta
dirasakan kian lama kian mendalam sebagai synthesa, dan...ternyata, waktu Tuhan
itu anugerah yang mahal karena...synthesa dari pengalaman thesis dan anti
thesis yang dialami dan dijalani sebagai seorang pemimpin tidak bisa
diprediksi, seperti halnya dua periode dijalani ”Yusuf” sebagai seorang kepala daerah
dan pemimpin daerah Biak Numfor.
Manusia menyejarah. Sejarah oleh ”Yusuf” anak
kampung Opiaref distrik Biak Timur adalah masa lalu, masa kini dan masa akan
datang. Masa lalu adalah sebuah thesis,
masa kini adalah sebuah anti thesis. Synthesa adalah akulturasi proses diri
sebagai seorang pemimpin ke arah kesejahteraan rakyat Biak Numfor periode kedua
”Yusuf” menjadi Bupati Biak Numfor.
”Yusuf”
bercermin ke masa lalu melalui fenomena
anti thesa kehidupan dan berani mengambil keputusan terhadap kebijakan publik
terkait kesejahteraan rakyat Biak Numfor ke depan. Anti thesis menjadi ritme
erotik cinta ”Yusuf ” memimpin Biak
Numfor naik-turun, membawa kita masuk ke paduan imajinasi-imajinasi seperti gerak laut, tak putus-putusnya,
berulang-ulang, menggucang, yang pada akhirnya sampai di pantai tempat pautan
ombak reda. Dialah Biak Numfor sejahtera
sebagai Kota Jasa, impiannya.
”Yusuf” pada akhirnya tidak mereduksi konsep cinta
ala Hegel dengan thesis, anti thesis dan syntesa. ”Yusuf” pun tidak mereduksi
konsep cinta ala novel Lady Chatterley’s lover, bahkan Yusuf dalam cerita Alkitab Perjanjian
Lama. ”Yusuf” mereduksi perjalanan hidup yang baginya , ”ANUGRAH HIDUP YANG MAHAL”
dalam ”CINTA TUHAN ”.
Ia mereduksi cinta Tuhan yang dialami dengan merujuk
Kitab Suci Perjanjian Baru, Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus (1
Kor. 13-1-13 ). ” ... Kasih itu sabar,
kasih itu murah hati, tidak cemburu, ia tidak memegahkan diri dan tidak
sombong, ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak cari keuntungan diri, ia
tidak marah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, ia tidak bersukacita
karena ketidak adilan, tetapi karena kebenaran, menutupi segala sesuatu,
mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu”.
Kasih tidak
berkesudahan dan itulah Kasih Tuhan yang merupakan ”Anugerah Yang Amat Mahal”. Cinta
Tuhan telah masuk menyusup ke dalam diriku, kata Yusuf, kian lama kian
dalam, bertambah dan bertambah hempasan, bertambah jauh pula... ia jadi segara
yang mengguncang sampai di sebuah pantai
yang diharapkan . Barulah disini deru mereda, laut lenyap, ia hilang, ia tak
ada dan itulah CINTA TUHAN bagi ” YUSUF ”.
Paulus Laratmase
0 komentar:
Posting Komentar