RECLAIMING HAK TANAH ADAT
MASYARAKAT ADAT BIAK
NUMFOR PROVINSI PAPUA
Oleh
: * Paulus Laratmase, S. Sos, MM
Kata orang, reclaiming adalah sebuah
bentuk gerakan social ketika masyarakat sipil secara psikologis merasa bebas
mengekspresikan apa yang selama ini dirasakan dan dialami sebagai resistensi
perjuangan hak-hak sipilnya. Seluruh masyarakat Indonesia tahu bahwa jatuhnya
penguasa orde baru memungkinkan sumbatan
perjuangan “ kebebasan” menyampaikan pendapat, menyampaikan apa yang menjadi
hak-hak yang selama pemerintahan orde baru tidak bisa tersalur, kini sumbatan
keran itu telah dibuka melalui perjuangan para pemuda bersama rakyat
menggulingkan kekuasaan orde baru di tahun 1998. Reclaiming menjadi gerakan
yang ampuh bagi pemulihan hak sipil dimaksud.
Kata
orang, di Indonesia bahkan di Papua, hampir semua tanah-tanah strategis
dikuasai oleh tiga keret terbesar. Mereka itu adalah Keret TNI Angkatan Darat,
Keret TNI Angkatan Laut dan Keret TNI Angkatan Udara.
Kata
orang, di Indonesia bahkan di Papua, hampir semua tanah-tanah strategis milik
masyarakat adat kini telah dikuasai oleh para pemodal. Mereka itu adalah Orang
Indonesia yang memiliki keret/ faam atau
marga Cina, keret Bugis/ Makasar, Toraja, Jawa, Batak atau dengan kata lain para penduduk lokal
mulai tergeser dari hak kepemilikan tanah adat karena telah dibeli atau
dimiliki secara legal oleh mereka yang memiliki keret-keret dimaksud. Yang
lebih ekstrim lagi menurut cerita orang, sekarang banyak masyarakat adat
menyewa atau mengontrak rumah milik mereka
yang sebelumnya sudah dibangun oleh keret-keret pendatang setelah hak
kepemilikannya diperoleh secara legal. Bahkan lebih sadis lagi sekarang lautpun
sudah dikapling oleh mereka yang berkeret/ marga Cina dari luar Tanah Papua.
Kata
Najwa Shihab, ketika Anggota Dewan Yang Terhormat periode 2009-2014 dilantik, mereka
diwawancarai tentang apa tugas dan fungsinya selama lima tahun di DPRD,
ternyata ¾ anggota dewan yang baru terpilih tidak mengetahuinya. ”...Tidak
tahu,..., Nanti baru belajar,... Lupa,...Belum pernah pelajari...Nanti dengan
sendirinya akan tahu juga...”. Reclaiming penyadaran akan hak dan kewajibannya
sebagai wakil rakyat memperjuangkan hak rakyat yang selama ini dikekang dan
dikendalikan dengan berbagai regulasi yang oleh masyarakat adat tidak
dimengerti.
Kata
orang, implementasi UU No 22/1999 yang direvisi dengan UU No 32/2004, masih
jauh dari sempurna sebagai kerangka acuan otonomi daerah di Indonesia. Harapan
reformasi terhadap pemerintah baik legislatif dan eksekutif maupun judikatif
masih terkungkung pada keterikatan masa lalu yang sulit dirubah. Implementasi
UU No 33/2004 tentang dana perimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah tidak serta merta merubah resistensi kondisi masyarakat adat yang
diharapkan. Hal ini dikarenakan kohesifitas pemerintah daerah dan masyarakat
adat memiliki orientasi yang tidak sejalan. Alokasi dana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah setiap tahun sama sekali tidak mengakomodir apa yang menjadi
harapan dan keinginan masyarakat adat.
Kata
orang, UU No 21/2001 sudah sembilan tahun berjalan. Harapan trilyunan rupiah
sampai di kampung-kampung, di gunung-gunung dan di lembah-lembah tidak kunjung
datang. Lebih banyak pejabat menghabiskan uang OTSUS di kota yang disebut
Jakarta ketimbang menabung di kampung halamannya di Papua. 17 Triliun sudah
digulirkan demi memperkuat tiga pilar utama pembangunan Papua : Pendidikan,
Kesehatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Tahun 2010 adalah tahun ke 10 pemanfaatan
dana OTSUS dan tinggal 15 tahun lagi
maka berakhir sudah pemberlakuan UU 21/2001.
Pertanyaannya, BENARKAH CERITA-CERITA PENDEK DI ATAS?
Kalau BENAR, INILAH YANG DISEBUT : MASALAH. Kalau TIDAK BENAR, maka SEMOGA INI HANYA CERITA OMONG
KOSONG mereka yang lagi sibuk
membawa ijazah ke sana kemari melamar kerja akibat faktor kelelahan.
Terkait
judul makalah di atas, saya mau mengajak kita untuk memfokuskan perhatian pada RECLAIMING
HAK MASYARAKAT ADAT ATAS TANAH LELUHURNYA DI KABUPATEN BIAK NUMFOR. MARI KITA
BUKTIKAN CERITA DIATAS, ADAKAH KERET-KERET BARU SEBAGAI PENGUASA TANAH ADAT
YANG SEBENARNYA MENJADI HAK MUTLAK MASYARAKAT ADAT BIAK YANG SEJAK DAHULU KALA
MENGUASAI BIAK TANAH TUMPAH DARAHNYA.
I.
FAKTISITAS
” KATA ORANG ”
A.
Fakta
Adanya Keret Besar Di Pusat Kota Biak
Pasal 33
ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945 mengamanatkan sebagai berikut : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan (pasal 1), Cabang - cabang produksi yang penting bagi negara dikuasai
oleh negara (pasal 2). Bumi, air dan
seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (pasal 3).
Landasan
iuridis formal pasal 33 UUD 1945 menjadi sebuah keharusan bagi negara
mengintervensi hak-hak sipil, hak ekonomi dan hak politik masyarakat adat Biak
terutama hak atas tanah adat yang diclaim negara sebagai hak mutlak demi
pelayanan publik terutama pelaksanaan kewajiban negara melindungi warganya dari
ancaman baik dari dalam maupun luar.
Sejak
berlakunya UU Nomor 12/1969 tentang Pembentukan Daerah Otonom Irian Barat dan
kabupaten Otonomi di Provinsi Irian Barat (Lembaran Negara tahun 1969 Nomor 47),
sudah terdapat TIGA MARGA/ KERET BESAR
yang memilki kekuasaan atas hak ulayat (Hak Atas Tanah Adat) dengan luas
areal yang sangat besar jika dibandingkan dengan masyarakat adat pemilik hak
ulayat sejak jaman dahulu kala.
Hak
pemilik tanah adat Keret TNI Angkatan Laut, mulai dari sebelah barat desa
Sorido, sebelah selatan desa Samau, sebelah timur Pasar Inpres dan sebelah
utara berbatasan dengan Lapangan Terbang Manuhua, Keret TNI Angkatan Udara,
mulai dari sebelah barat ujung Lapangan Terbang Manuhua (Kampung Baru) sampai sebelah utara berbatasan dengan jalan
Condronegoro Samofa, sebelah timur berbatasan dengan Kantor LAPAN dan Areal
MAKOSEK HANUDNAS IV di jalan Majapahit, Keret TNI Angkatan Darat menguasai
tanah sepanjang jalan Majapahit, Areal Korem 173/PVB, BEK-ANG, Perumahan Intel
bahkan areal MAKODIM 1708 di jalan Sriwijaya Ridge II Biak. Diperkirakan kurang
lebih areal kepemilikan tanah adat oleh ketiga keret ini menguasai hampir
½ luas tanah kota Biak. Dengan kata
lain, hanya ½ dari total luas tanah yang ada dikuasai oleh Keret-Keret Asli
Masyarakat adat Biak dan sebagian masyarakat pendatang yang menjadi penduduk
Biak.
B.
Fakta
Adanya Keret Di Luar Masyarakat Adat Biak
Pembuktian
cerita orang yang sudah lelah mencari kerja di atas, dibuktikan dengan fakta
empirik kita yang sudah sekian puluh tahun hidup/ tinggal di kota Karang Biak.
Hampir semua sentra pertumbuhan ekonomi dikuasi oleh keret/ marga Cina, Bugis/
Makassar/ Buton, Toraja, Jawa, Batak, Padang, Manado, Maluku dengan rata-rata
pendapatan per hari yang cukup tinggi.
Terlepas
dari penguasaan sentra-sentra vital ekonomi, keret-keret kecil ini mampu
menguasai tanah masyarakat adat Biak karena memiliki modal yang cukup. Tanah
adat dibeli dengan harga murah, disertifikatkan pada Kantor Badan Pertanahan
Nasional Biak, sertifikat tanah dimaksud digunakan sebagai agunan untuk
meminjam uang ke bank sebagai modal usaha mikro dan meraup keuntungan besar
dari rata-rata konsumen yang adalah pemilik hak ulayat atau masyarakat adat
Biak sendiri.
Keret-keret
kecil ini menguasai tanah sampai tanah-tanah strategis di tengah kampung sekalipun yang saharusnya tidak dijual, namun
karena himpitan ekonomi yang tidak boleh tidak harus dipenuhi. Fenomena ini
dapat kita lihat di Pasar Lama (jalan Selat Makasar), Pasar Inpres, Jl.
Samratulangi, Jl. Imam Bonjol, Ahmad Yani, Condronegoro, Kampung Baru,
Sriwijaya bahkan hampir di seluruh pelosok kota Biak, keret-keret kecil ini
telah menyusup masuk dalam dan melalui interaksi sosialnya yang mudah diterima
oleh masyarakat adat Biak.
C.
Fakta
Eksistensi Anggota Legislative Kita
Reporter
Metro TV, Najwa Sihab, dalam catatan-catatannya tentang Anggota Dewan Yang
Terhormat dinyatakan dalam bentuk ayat-ayat Najwa yang ia rumuskan sebagai berikut :
Ayat 1 :
Namanya wakil rakyat, tetapi mereka
memperjuangkan hati
Nurani
pejabat dan konglomerat.
Ayat 2 : Waktu mereka adalah D 4; Datang, Duduk, Diam, Duit
Ayat 3 : Mereka memang rajin datang ke kantor, tetapi menembus three
in one
dengan lambang plat nomor mobil DPR
dengan mobil
- mobil
mewah
Ayat 4 : Mereka wajib duduk untuk menjadi wakil rakyat yang idealis,
Opurtinis pemanis atau sadis
Ayat 5 : Mereka besikap diam bukan karena bisu tetapi karena
mengantuk
lalu ketiduran
Ayat 6 : Mereka pasti terima duit, gaji atau suap, halal
atau haram,
tunai atau cek, di hotel atau di ruang komisi saat reses atau waktu
kunjungan kerja, tetapi anda telah memilih mereka yang rajin menghibur kita karena srimulat di gedung sebelah sudah pindah
entah kemana, itulah kisah tentang wakil rakyat, tentang sang bayi yang beranjak jadi balita.
”Anda
hari ini telah resmi menjadi wakil rakyat di gedung megah di Senayan, tahukah
apa tugas dan tanggungjawab anda, tanya Najwa?” Dan inilah jawaban mereka
para wakil rakyat : ”...Tidak tahu,... Nanti baru belajar,... Lupa,...Belum
pernah pelajari...Nanti dengan sendirinya akan tahu juga...”.
Ketika ditanya, ”Apa hak anda setelah
menjadi wakil rakyat?” Jawaban spontanitas keluar dari mulut wakil rakyat kita begitu lantang, ”...yang
pasti gaji, ... rumah,... mobil,... Ha... Ha ... Ha .. ”.
Kondisi wakil rakyat kita di
Kabupaten Biak Numfor, kita doakan semoga tidak akan ada yang menjawab seperti
wakil kita di Senayan. Kembali kepada fokus pembahasan kita mengenai penguasaan
tanah masyarakat adat Biak oleh keret-keret besar, kecil atau sedang, bisakah
menimbulkan dampak sosial alias konflik yang meresahkan pemerintah yang adalah
legislatif dan eksekutif maupun rakyat? Kesadaran akan reclaiming hak atas
tanah berdampak pada terjadinya dis-harmony bahkan chaos yang akan merusak tatanan yang sudah ada.
Mungkin juga ayat-ayat Najwa benar, anggota dewan kita di Biak masih
memperjuangkan hati nurani pejabat dan konglomerat, mungkin juga wakil rakyat
kita cukup idealis, oportunis atau pesimis memperjuangkan hak reclaiming tanah
adat masyarakat yang kian hari kian habis dilalap keret-keret kecil berduit
karena apabila dihitung-hitung pasti tidak ada benefinya.
Mungkin juga mereka tahu, tetapi
karena hanya memilki ijazah persamaan,
tidak mampu merumuskan persoalan masyarakat untuk diperjuangkan melalui
kebijakan publik yang berpihak pada pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Atau
masih sibuk mengurusi DIKLAT atau KONSULTASI
ke pulau Jawa sebagai bagian dari refreshing setelah sekian minggu melaksanakan
sidang anggaran untuk menambah angka defisit pemenuhan perjalanan dinas Anggota
Dewan Yang Terhormat, yang sering sadis ketika berhadapan dengan Kepala Dinas/
Badan pada saat pembahasan anggaran di gedung rakyat yang terhormat, bersikap
diam karena memang tidak tahu memulai dari mana lalu alasan ketiduran, namun
kalau terima gaji atau SPPD, orang pertama yang menandatangani daftar di bagian
keuangan sekretariat dewan.
Itulah wakil kita DPRD Biak Numfor
yang paling senang melaksakana fungsi kontrolnya pada Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Pendidikan dan Dinas Kesehatan karena memang di sanalah
”gudang
proyek bernilai milyaran” yang dititpkan anggota dewan yang terhormat
sebelum Palu Sidang Pimpinan Dewan diketok. Bahkan bila perlu isteri-isteri
disuruh menunggu berjam-jam di kantor dinas hanya untuk menyampaikan pesan suami
yang adalah Anggota Dewan Yang Terhormat dalam hal pembagian proyek yang harus
kebagian isterinya sebagai ”isteri pejabat” alias ”isteri anggota dewan pemburu proyek”. Kalau
tidak kebagian proyek, maka tekanan politik suami yang adalah anggota dewanpun
ditujukan kepada kepala dinas dengan cara yang sangat tidak terpuji.
Di sini pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai pembuat
budgeting, legislasi dan controlling terhadap implementasi berbagai regulasi
daerah maupun pusat yang berkaitan dengan rakyat Biak Numfor termasuk
masyarakat adat harus dijalankan dengan sungguh-sungguh. Sayangnya ketiga
fungsinya berubah menjadi lembaga pengurusan dan pemburu proyek yang menguntungkan
dirinya dan keret-keret kecil penguasa modal karena telah mengeluarkan
lebih banyak ketika dipilih menjadi wakil rakyat untuk duduk di kampung Mandow,
bahkan bila perlu dengan uang proyek dan dana perjalanan dinas, penambahan
isteri simpanan di lima atau enam kota sekaligus entah di Biak atau di
luar Biak, biar isteri di Biak tidak boleh tahu. Gaji adalah hak isteri tetapi
pendapatan di luar gaji menjadi hak isteri simpanan.
Demikian fakta eksistensi anggota legislative
kita di kampung Mandow. Kalau ditanya
apakah mereka salah? Jawabnya Tidak.
Mereka tidak bersalah karena kitalah
yang memilih mereka duduk di kursi empuk memperjuangkan hak-hak kita yang
ditindas, biarpun kita telah salah memilih mereka. Permainan srimulat ini berjalan
terus dan berjalan terus. Kata Najwa, ”bukan persoalan karena kita telah memilih
mereka untuk masa bodoh terhadap konflik sosial yang terbentang di depan mata
kita”. Semoga besok kita tidak salah memilih demi masa depan anak-anak adat
Biak yang kian hari hak-haknya dirampas tanpa memiliki kekuatan untuk melawan
karena memang di pihak yang lemah.
D.
Fakta
Eksistensi Lembaga Eksekutif Biak Numfor
Dalam penyelengaraan pemerintahan
daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Secara umum perangkat
daerah terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan
koordinasi diwadahi dalam lembaga sekretariat, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga
teknis daerah, serta unsur pelaksanaan urusan daerah yang diwadahi dalam
lembaga dinas daerah. Berbicara eksistensi pemerintah daerah, maka yang
dimaksudkan dengan pemerintah daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi
pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (lihat UU Nomor
32/2004:137).
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan
terlaksana secara optimal apabila penyelenggaran urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan
yang cukup kepada daerah dengan mengacu pada UU tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah., di mana besarnya disesuaikan
dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah,
(Mahmud MD, 2005:342).
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan
yang antara lain berupa: kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai
dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan
pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber
sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada dasarnya
pemerintah menerapkan prinsip ”uang mengikuti fungsi”, (Ifdhal Kasim, 2003:18).
Menurut Ifdhal Kasim (2003), di dalam undang-undang
mengenai keuangan negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan
yaitu, bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari
kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden
sebagian diserahkan kepada gubernur / bupati/ walikota selaku kepala
pemerintahan di daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah
daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan
pertanggungjwaban keuangan daerah
melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah yaitu dalam UU
mengenai Pemerintahan Daerah.
Implikasi konsep para ahli di atas apabila dinterpretasi
maka berkonsekuensi logis terhadap pelimpahan kekuasaan pemerintah pusat kepada
daerah dalam wilayah kekuasaan bupati Biak Numfor dan para wakil kita di
kampung Mandow. Apabila dikaji lebih dalam, sensivibilitas pihak eksekutif
sebagai perencana dalam setiap anggaran daerah bersama wakil rakyat selama ini
sama sekali tidak berpihak pada bagaimana membangun kepercayaan diri masyarakat
sipil yang dalam hal ini masyarakat adat diberikan haknya dalam pengalokasian
anggaran pendapatan dan belanja daerah setiap tahunnya.
Proyek multi years pasar Darfuar sudah sebelas tahun
dianggarkan tidak tahu berapa milyar sudah dihabiskan untuk kepentingan
konglomerat, proyek lampu hias yang mati segan hidup tak mau, proyek pembakaran
sampah yang menelan dana milyaran rupiah pada akhirnya tidak tahu kemana uang
dimaksud dan proyek terbengkalai namun penganggaran setiap tahun selalu
diusulkan oleh SKPD yang menangani langsung tanpa ada progress report yang
jelas bagi masyarakat banyak di kabupaten Biak Numfor tercinta.
Persoalan tanah adat yang merupakan hak sipil masyarakat
adat tidak jarang disepelehkan oleh para pengambil kebijakan dalam hal ini
pihak eksekutiflah yang harus bertanggunjawab penuh apabila suatu ketika
terjadi gejolak sosial yang bedampak sistemik ala bank Senturi seperti apa yang menjadi
pernyataan dan jawaban menteri
keuangan Prof. DR. Sri Mulyani dan
mantan Gubernur Bank Indonesia Prof. Dr. Budiono dalam rapat-rapat pansus DPR
RI akhir-akhir ini.
Antisipasi kemungkinan konflik yang ditimbulkan dari munculnya
kesadaran masyarakat adat dalam menclaim kembali hak-hak sipil akibat dari
kurangnya sensbilitas pemerintah dalam memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan
dasarnya sekarang ini sangat dibutuhkan. Peristiwa Ambon, Poso, Kalimantan
dan beberapa daerah lain telah menjadi contoh bagaimana pemerintah daerahnya
tidak siap tanggap terhadap fenomena yang sedang tejadi di tengah-tengah
masyarakat. Memang dampak globalisasi perdagangan salah satunya adalah ketika
masyarakat lokal tidak siap menghadapai arus kencangnya maka semua akan
tergilas termasuk didalamnya hak atas tanah leluhur yang pada akhirnya diclaim
orang lain sebagai hak milik berdasarkan faktisitas iuridis formal yang
dimiliki.
E.
Faktisitas
Eksitensi UU 21/2001
Sampai Tahun Anggaran 2009, telah
digulirkan dana Otonomi Khusus Papua sebesar 17 Triliun. Fakta adanya eksitensi
UU 21/2001 tidak bisa dipungkiri oleh kalangan elit di Papua. Pertanyaannya
adalah mereka yang di pedesaan, di gunung, di lembah, di pulau-pulau sudakah
semuanya mendengar dan mengerti tentang apa yang dimaksudkan dengan UU 21/2001.
Tahun 2010 sudah 10 tahun pemberlakuan UU 21/2001. Tidak dimaksudkan membangun
sebuah opini publik bahwa belum semuanya masyarakat adat mengerti dan memahami
apa yang dimaksudkan dengan UU OTSUS. Harus diakui bahawa perlu pembuktian
ilmiah dan membutuhkan penelitian khusus dengan menggunakan parameter yang
jelas sehingga nantinya tidak ditafsir sedemikan rupa bahwa hasil penelitian
dimaksud bisa atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Namun biarlah masyarakat
adatlah yang menilai, sudah sejauh mana kehadiran dana Otsus bermanfaat dan
menyentuh langsung kehidupan mereka.
II.
PERLUKAH
RECLAIMING HAK ULAYAT MASYARAKAT ADAT?
Untuk membuktikan cerita apa kata
orang tentang fenomena empirik yang sedang melanda masyarakat adat Biak Numfor
terutama masyarakat yang ada di wilayah perkotaan, pada bagian kedua ini kita
dihantar untuk melihat kembali perlunya reclaiming hak ulayat masyarakat adat
demi masa depan anak-cucu di waktu mendatang. Fenomena di atas kiranya sudah
memberikan gambaran, betapa pentingnya mengadvokasi dan menata kembali
hak-hak ulayat tanah adat melalui strategi-strategi pemerintah daerah dan semua
stake holders yang berkepentingan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
A.
Dasar
Hukum
Ifdhal Kasim (2001:9) mengatakan, International Covenan on Civil Political
Rights
(ICCPR)
dan International Covenan on Econmic, Social, and Cultural Rights (ICESCR)
merupakan anak kembar yang dilahirkan dalam situasi yang tidak begitu kondusif.
95 % negara-negara anggota PBB yang berjumlah 141 telah menjadi negara pihak
state parties.
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan
penggunaan kewenangan oleh aparatur represif negara khususnya aparatur represif
negara yang menjadi negara-negara pihak ICCPR. Artinya hak-hak yang dijamin di
dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat
minus. Tetapi apabila peran negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan
hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Inilah
yang membedakan dengan model legislasi Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya yang justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru
melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tidak berperan secara
aktif atau menunjukkan peran yang minus (positive rights ).
Klasifikasi pertama yang tercantum dalam ICCPR dalam
jenis non derogable yaitu : HAK-HAK YANG BERSIFAT ABSOLUT YANG TIDAK
BOLEH DIKURANGI PEMENUHANNYA OLEH NEGARA, WALAUPUN DALAM KEADAAN DARURAT
SEKALIPUN. Hak-hak dimaksud adalah : Hak Untuk Hidup (rights to life),
Hak Bebas dari Penyiksaan (rights to be free from torture), Hak Bebas dari
Perbudakan ( right to be free from slavery), Hak bebas dari penahanan karena
gagal memenuhi perjanjian , Hak Bebas dari Pemidanaan yang berlaku surut, Hak
sebagai Subjek Hukum, Hak atas Kebebasan Berpikir, Hak atas Keyakinan dan Agama
(Ifdhal Kasim, 2001).
Joram Distein, dalam Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani dan Kebebasan, (Ifdhal Kasim, ed,
2001:128) mengatakan,
”Pasal
6 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan, setiap manusia memiliki hak atas
hidup yang bersifat melekat. Hak atas hidup ini tidak perlu diragukan lagi,
paling penting dari semua hak asasi manusia. Masyarakat yang beradab tidak
dapat eksis tanpa ada perlindungan hukum terhadap hidup manusia. Tidak dapat
diganggu gugat hak atau kesucian hidup mungkin merupakan nilai yang paling
dasar dari peradaban moderen”.
Terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dalam Hukum
Hak Asasi Manusia Internasional, digambarkan oleh Johanes da Mansenus Arus,
(Ifdhal Kasim, ed, 2001:12) sebagai berikut :
”Sebagai
bagian dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tidak dapat ditempatkan di
bawah hak-hak sipil dan politik sebagaimana dikesankan selama ini, untuk itu
mempositivisasikan hak-hak tersebut ke dalam bentuk perjanjian multilateral
(threaty) adalah penting bagi semua orang di muka bumi diharuskan
menghormatinya”.
Prof. Darji Darmodiharjo, SH, (2004:173), memposisikan
implementasi konvensi hak-hak asasi manusia pada tataran negara kesatuan
Republik Indonesia telah termuat dengan jelas dalam UUD 1945:
”pasal
27 ayat (1) menetapkan bahwa segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sedang dalam
ayat (2) menetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Lanjut
Prof. Darji darmodiharjo, (2004),
”Terhadap hak kepemilikan tanah yang sejak
leluhur kita, selalu menjadi permasalahan krusial bagi kepastian hukum atas
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, telah diatur dengan jelas dalam UU Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Dengan demikian hak-hak atas tanah demi
kesejahteraan seluruh masyarakat di bumi pertiwi harus dilindungi dan dijaga
hak-hak dasarnya”.
Dengan memperhatikan ”Konsideran
Menimbang” UU Nomor 5 Tahun 1960, dikatakan,
”butir (c) bahwa hukum agraria tersebut
mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat di samping hukum agraria
yang didasarkan atas hukum barat, butir (d) bahwa bagi rakyat asli, hukum agraria
penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum”.
”Konsideran
Berpendapat” pada UU Nomor 5 Tahun 1960,
dikatakan,
”butir (a)
bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di
atas, perlu adanya hukum agraria
nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan
menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Ketentua-ketentuan
hak milik berdasarkan hukum adat dinyatakan dengan sangat jelas pada bagian III
UU Nomor 5 Tahun 1960 sebagai berikut :
”Pasal 20
(1) Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 yaitu semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pasal 22 (1), Terjadinya hak milik
menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, ketentuan-ketentuan hak
kepemilikan tanah dinyatakan hilang atau dihapus seperti diatur dalam pasal 27
butir (a) dan (b)”.
Dasar hukum yang sangat implementatif bagi pengakuan dan
perealisasian hak-hak dasar Masyarakat Adat Papua termuat dengan jelas dalam UU
Nomor 21/2001 tentang OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA. Menurut Gubernur Provinsi
Papua, dalam sosialisasi UU OTSUS 21/2001 yang dilaksanakan di GOR Cendrawasih
2001, yang dilansir oleh wartawan Tifa Papua, Paulus Laratmase (Tifa Papua,
Minggu IV Juli 2001, hal 1 dan 5) dikatakan,
”UU
OTSUS adalah representasi dari pernyataan diri seutuhnya masyarakat Papua.
Pemberian UU 21/2001 oleh pemerintah Indonesia adalah Hadiah Terbesar yang
selama ini dicita-citakan oleh semua orang Papua. UU 21/2001 adalah pernyataan
eksplisit bahwa orang Papua HARUS MENJADI TUAN DI NEGERI SENDIRI”.
B.
Dampak
Sosial Kepemilikan Lahan Yang Berlebihan
Kembali pada persoalan di atas, di
mana fakta empirik bercerita tentang kepemilikan hak ulayat
tanah adat di
kota Biak mulai
dari daerah Swapor (Paray sampai dan dengan Sorido),
daerah Yafdas, Ridge sampai daerah Sumberker, merupakan areal tanah pertanian
masyarakat adat yang kini telah dikuasai oleh
keret-keret seperti TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, TNI Angkatan
Darat bahkan keret pendatang yang bukan penduduk atau masyarakat adat penghuni
tanah ini sejak jaman dahulu. Mereka itu adalah keret Bugis, Makassar, Jawa,
Toraja, Batak tidak ketinggalan keret Cina yang secara ekonomi menguasai hak
ulayat karena kekuatan modal finansial. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh
penguasaan hak ulayat adat secara berlebihan adalah :
1. Areal
tanah pertanian yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat adat Biak terutama
mereka yang berada di area distrik Biak Kota dan distrik Samofa dikuasai oleh
ketiga keret besar di atas untuk melanggengkan tujuan penguasaan kekayaan alam
Tanah Papua demi kepentingan pejabat dengan indoktrinasi stabilitas nasional di
mana apabila muncul perlawanan para pemilik tanah terhadap penguasaan hak oleh
keret TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara dan TNI Angkatan Dasar,
stigmatisasai yang selalu dikenakan kepada masyarakat adat adalah ”GERAKAN SEPARATIS ALIAS ORGANISASI PAPUA
MEREDEKA” yang bertujuan untuk keluar dari Negera Kesatuan RI. Atas dasar
stigma dimaksud, penambahan personi, berdampak logis pada penambahan areal
penguasaan atas tanah pertanian rakayat
berkedok demi stabilitas keamanaan di Papua. Indoktrinasi konsep demi
keamanan inilah yang mengakibatkan apabila terjadi pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh aparat TNI dihalalkan dan masyarakat adat bungkam seribu bahasa
hanya karena demi stabilitas. Pertanyaannya adalah di mana tempat masyarakat
adat mengolah lahan pertanian demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan seluruh
keluarganya. Di sinilah muncul masyarakat miskin perkotaan yang tidak enak
dipandang.
2. Akibat
himpitan ekonomi, tanah yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan rumah
tempat berteduh keluargapun dijual kepada keret-keret penadatang pemilik modal
yang berdampak langsung bagi anak dan cucu mereka ketika sudah harus berkelurga
harus manyewa rumah milik orang lain yag dibangun di atas tanahnya sendiri.
3. Ketimpangan
penguasaan sumber daya alam demikian telah melahirkan ketimpangan dalam
pemenuhan atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Lihat saja di pasar Inpres,
lebih banyak keret pendatang yang adalah mereka yang telah disebut di atas
menguasai ruko dan los pasar sedangkan mereka yang seharusnya berjualan di
tempat yang layak dengan keadaan terpaksa harus berjemur di panas matahari dan
berbagai resiko lain karena tidak berhak berjualan di tempat yang layak.
4. Hal
yang sama terjadi di semua pusat pertumbuhan ekonomi di kedua distik baik Biak
Kota dan Samofa, di mana hampir semua pihak baik pemerintah sendiri, pegiat LSM
maupun semua stake holders, seakan-akan tidak memiliki sensibilitas sosial
terhadap permasalahan akut yang tinggal menunggu waktunya untuk kambuh sakitnya
yaitu revolusi sosial melalui reclaiming hak-hak ulayat masyarakat adat di
kedua distrik ini.
5. Keadilan
sosial yang diyakini sebagai kontruksi nilai dan sekaligus juga
dipercayairakyat Indonesia akan menjadi kenyataan, menjadi dasar kekuatan moral
melakukan perlawanan terahadap setiap penindasarn. Rakyat masih mempercayai
semangat para pendiri bangsa ini, bahwa nilai yang terkandung dalam rumusan
keadilan sosial seperti terdapat dalam pembukaan UUD 1945, akan terwujud
melalui tangan-tangan penguasa negara yang bersih dan tidak korup.
C.
Tanah
dan Interaksi Sosial Masyarakat Adat Biak
Enos H. Rumansara (2002:100),
mengkonsepkan tanah dalam tatanan masyarakat adat Biak sebagai berikut,
”Kebudayaan
masyarakat adat Biak tidak mengenal adanya konsep jual beli tanah seperti yang
kita kenal sekarang, karena tanah sebagai obyek warisan pada tingkat keret
(tanah keret). Tanah keret diwariskan atas dasar prinsip stelsel pasif yang
berarti setiap orang yang secara patrilineal mempunyai hubungan darah seorang
laki-laki dari suatu keret pada orang Biak, dengan sendirinya memiliki hak atas
tanah keret”.
Enos H. Rumansara (2002),
menggambarkan sistem kekerabatan sebagai interaksi sosial dalam kaitan dengan
hak waris tanah adat bahwa,
”Hak waris secara individu dan hak waris dalam
kelompok kekerabatan seperti : (a) Sim (keluarga batih/inti), (b) Rum (keluarga luas), dan (c) Keret (klen kecil) diharuskan jatuh
pada anak laki-laki. Objek warisan pada
tingkat keluarga luas (rum) dan keluarga inti/ batih (sim) umumnya dusun sagu,
kelapa dan tanah-tanah garapan yang ada dalam batasan tanah adat keret”.
Mientje D. E. Roembiak (2002:21),
memperkuat konsep hak pemilikan tanah dengan sistem petrilineal dalam interaksi
sosial masyarakat adat Biak,
”Pemilikan dan penggunaan tanah menurut aturan-aturan
adat orang Biak mengikuti status seseorang dalam kampung atau mnu. Orang
pertama yang mendiami kampung tersebut mempunyai hak atas tanah. Ia mempunyai
kewenangan untuk memberi tempat tinggal dan ijin pemakaian hutan atau tanah
kepada pemukim atau penduduk baru. Ia disebut Mansren Mnu dan dianggap senior keret dalam kampung, yang sangat
diakui dan disegani”.
Mientje D. E. Roembiak (2002), menegaskan tentang hak
pemilikan tanah dan penggunaan lahan masyarakat adat Biak sebagai berikut,
”Karmgu, atau hutan merupakan milik klen
atau keret atau wilayah kampung. Mereka mempunyai hak untuk hidup, mencari
nafkah (bosen rasowan). Pemilikan
dan penggunaannya adalah diatur oleh keret dalam kampung untuk menggunakan
tertentu pemilikan dan penggunaan mengacu kepada keret pertama yang mendiami
kampung di pesisir pantai”.
Gambaran hak kepemilikan lahan oleh masyarakat adat Biak,
ternyata memiliki nilai tertentu. Tanah adalah tempat orang mencari nafkah/
hidup bagi keberlanjutan individu maupun kelompok dalam bentuk Sim,
Rum
dan Keret.
Tanah dalam masyarakat adat Biak, tidak untuk diperjual belikan. Tanah
berkaitan dengan makna hidup yang memiliki nilai magis dalam kekerabatan maupun
dalam interaksi sosial biarpun terjadi perkawinan eksogami atau endogami baik inter
dan antar klan, tidak menghapus nilai intrinsik yang dianut oleh masyarakat
adat Biak sendiri.
Pemanfaatan lahan untuk kepentingan umum atau individu,
masyarakat adat Biak memiliki etika sosial yang sangat tinggi, mereka tahu
siapa yang seharusnya dimintai izin untuk pemanfaatan lahan dimaksud. Artinya,
penghormatan kepada hak orang menjadi sangat penting bagi harmony kehidupan
bersama. Itu sebabnya, dalam sistem kekerabatan masyarakat adat Biak, dikenal
istilah MANANWIR MNU, orang yang tertua di kampung.
Sim, Rum
dan Keret adalah hubungan kekerabatan masyarakat adat Biak yang
berkaitan dengan hak waris tanah adat dengan sistem patrilineal. Namun oleh
masyarakat adat, wanita diberi hak untuk menggarap tanah tanpa memiliki hak
waris yang diberikan oleh saudara laki-laki tertua dalam keluarga.
D. Reclaiming Hak Ulayat Tanah Adat Mutlak Perlu
Mengacu pada International Covenan on Civil Political
Rights (ICCPR) dan International Covenan on Economic, Social, and Cultural
Rights (ICESCR), Pasal 27 UU 1945 (ayat 1 dan 2), UU Nomor 5 tahun 1960 serta
UU Nomor 21/2001, maka sebuah keharusan/absolute rights
menata kembali apa yang menjadi hak-hak sipil yang merupakan hak dasar
masyarakat adat Biak Numfor untuk harus diperoleh kembali demi masa depan anak
dan cucu mereka.
Sub judul ini menghantar kita untuk memahami definisi
reclaiming pada tataran yang sesungguhnya tanpa penafsiran yang bias oleh
siapapun yang membaca tulisan ini.
Konsep reclaiming yang dimaksudkan adalah:
”Sebuah tindakan perlawanan yang dilakukan
oleh rakyat tertindas untuk memperoleh kembali hak-haknya, seperti tanah, air
dan sumber daya alam lainnya serta alat-alat produksi lainnya secara adil demi
terciptanya kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan pengertian di atas, reclaiming hanya dibatasi
subjek (pelaku reclaiming) yakni rakyat tertindas. Dengan semangat untuk
menegakkan keadilan, pada akhirnya reclaiming ditujukan untuk kemakmuran
rakyat. Atas dasar inilah tindakan rakyat merupakan tindakan manusiawi yang
sangat luhur dan mulia.
Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana (2001), secara
eksplisit menghendaki adanya reclaiming hak-hak masyarakat adat dalam konteks
definisi di atas, dengan ketentuan harus menganut nilai-nilai universal yang
dianut semua orang dalam memperjuangkan hak-hak sipilnya. Sebagai pelaku
reclaiming, semua bentuk perjuangan memperoleh kembali hak-haknya harus
memiliki enam prinsip dasar yaitu : anti kekerasan, penghargaan terhadap
prinsip-prinsip demokrasi, penghormatan terhadap nilai-nilai dasar hak-hak
asasi manusia, keadilan, kolektivitas dan keterbukaan.
Bagi Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana (2001:85),
pola kekerasan yang banyak dilakukan oleh aparat pemerintah dan militer menjadi
ancaman serius bagi perkembangan demokrasi, bobot partisipasi yang akan
menentukan seberapa besar seseorang memperoleh penghargaan dari organisasi yang
mengatur proses gerakan reclaiming, komitmen terhadap nilai-nilai hak asasi
manusia, tindakan reclaiming sama sekali tidak memperbolehkan upaya balas
dendam atas segala bentuk pelanggaran hak sipil dan politik yang pernah
dialami, pelaku reclaiming diwajibkan menghagai sebuah nilai yang dibangun atas
dasar kesepakatan, nilai keadilan akan menentukan keberhasilan dan kegagalan
sebuah tindakan reclaiming, tanpa kebersamaan mustahil dapat merumuskan aturan
atau norma yang bisa dipahami dan disepakati secara bersama, reclaiming
bukanlah tindakan yang dilakukan secara tertutup atau sembunyi-sembunyi karena
bukan tindakan subversif.
Keterbukaan pada dasarnya seiring dengan konsepsi
partisipasi yakni membuka akses informasi. Pengelolaan informasi diarahkan pada
dua sasaran, yaitu ke dalam dan ke luar.
Pengelolaan ke luar dalam hal ini berupa kampanye yang dimaksudkan untuk
menjelaskan kepada publik bahwa reclaiming merupakan aksi untuk membangun demokrasi
dan hak-hak asasi manusia.
Pengelolaan informasi
ke dalam merupakan aktivitas menyebarkan informasi yang menumbuhkan
kesadaran kritis kelompok petani melalui media pendidikan kritis, tukar
pengalaman dan penyebaran informasi tentang strategi perjuangan hak atas sumber
daya alam sasaran memiliki dampak tersendiri yakni respon-respon yang lahir
dari eksternal dan internal sehingga pengelolaan informasi senantiasa harus
terjaga agar tidak melahirkan polemik. Dengan demikian, a plan for getting from where
they are to, where they want to go dapat dicapai.
III.
KONKLUSI
A.
Kesimpulan
Cerita para pencari nafkah di
atas bukanlah sebuah opini yang dibangun,
bukan pula cerita omong kosong. Ternyata cerita ini benar dan merupakan sebuah
fakta yang tidak bisa dipungkiri sebagai fenomena akan terjadinya sebuah
pergolakan sosial sebagai gerakan moral yang disebut gerakan reclaiming
hak-hak masyarakat adat penghuni dan terlebih pemilik tanah adat di dua distrik
yang sudah penuh dengan areal pemukiman penduduk, areal pembangunan sarana dan
prasarana untuk pelayanan publik, yang pada akhirnya berdampak pada hilangnya
tempat di mana masyarakat adat harus menggantungkan hidup dan kehidupannya di
atas apa yang selama ini dibanggakan sebagai miliknya sendiri.
Pemerintah dan DPRD Biak Numfor masih mengurusi berbagai
proyek melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya
untuk kepentingan konglomerat pemilik modal yang pada akhirnya menguasai tanah
masyarakat adat di luar ketiga keret besar seperti telah digambarkan di atas
akibat himpitan ekonomi yang dialami.
DPRD Biak Numfor belum peka terhadap bahaya laten
berdampak sistemik yang bisa menimbulkan pergolakan sosial besar jika tidak
diantisipasi sejak dini sebagai tindakan preventif para wakil rakyat terhadap
kesengsaraan masyarakat adat yang telah memilih mereka duduk di kursi empuk di
kampung Mandow.
Implementasi UU 5/1960, UU 32/2004 dan UU 21/2001 tidak
serta merta berdampak pada kesejahteraan rakayat yang dikehendaki oleh pasal 33
ayat 3 UUD 1945. Pembuktian cerita-cerita di atas membuktikan bahwa ternyata
konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, Hak Politik dan Hak Sipil lain yang
telah diratifikasi dalam Konvensi Internasional sebagai kewajiban semua manusia
di muka bumi termasuk kita di Indonesia terlebih di Papua wajib hukumnya.
Pertanyaannya kapan mimpi tentang implementasi UUD 1945 pasal 33 ayat 3
diwujudkan demi kesejahteraan rakyat Indonesia terlebih Kabupaten Biak Numfor
terutama masyarakat adat pemilik hak ulayat yang fakta terkini hampir tidak
mempunyai hak atas tanahnya sendiri?
Politisi kita di Mandow tidak ketiduran seperti apa yang
dinyatakan Najwa. Mereka lagi semangat mengkritisi kebijakan eksekutif kita
yang lebih berorientasi proyek milyaran yang menguntungkan diri dan pemilik
modal. Hanya saja jangan terlena dengan banyak kunjungan ke Dinas Pendidikan,
Dinas PU dan Dinas Kesehatan. Pemberian proyek kepada anggota dewan akan mengikat
kebebasan dalam memperjuangkan kepentingan hak-hak masyarakat adat Biak dan
seluruh masyarakat Biak Numfor. Semoga idealisme tidak sirna ketika ditutup
mulut para anggota dewan dengan proyek bernilai milyaran rupiah.
Reclaiming mutlak perlu. Rakyat
tidak akan berani ketika wakilnya main kucing-kucingan. Ligitimasi hak
kepemilikan tanah oleh ketiga keret : TNI AL. TNI AU dan TNI AD maupun para
konglomerat Cina dan keret-keret pendatang yang bukan penduduk asli masyarakat
pemilik hak ulayat di kota Biak, dapat diperoleh kembali oleh masyarakat adat
Biak ketika diperjuangkan oleh wakilnya di kampung Mandow. Semua stake holders
berhak untuk memperjuangkannya. Pertanyaannya :siapa yang lebih dahulu memulai?
B. Saran
Reclaiming hak ulayat tanah adat
masyarakat adat Biak Numfor adalah sebuah ide yang muncul ketika fenomena ini
dilihat oleh pegiat LSM yang hidup di tengah masyarakat adat sendiri di Biak
Numfor. Tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan siap-siapa.
Gambaran di atas adalah ekspresi kritis-fenomenal yang harus disikapi oleh
semua orang. Namun kalau ditanya siapakah yang bertanggungjawab atas kondisi dimaksud?
Jawabannya adalah pemerintah dan
kita semua. Pemerintah berdasarkan UU 32/2004 adalah Bupati dan seluruh jajaran
eksekutive serta wakil kita, DPRD Biak Numfor. Untuk melanggengkan perjuangan
moral pada tataran konsep mulia reclaiming seperti difinisi di atas, maka perlu
diusulkan saran-saran berikut yang menjadi perhatian kita bersama:
(1) DPRD Biak segera membuat sebuah
Rancangan Peraturan Daerah yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat
pemilik hak ulyat terutama masyarakat adat di distrik Biak Kota dan Samofa;
(2) perlu dilakukan assessment oleh
pemerintah dalam hal ini legislatif dan eksekutif didampingi oleh akademisi
atau peneliti agar rumusan-rumusan permasalahan yang dihadapai oleh masyarakat
adat dapat dengan mudah dirumuskan dan dijadikan sebagai referensi dalam
malakukan kebijakan publik;
(3) reclaiming sebagai sebuah
gerakan moral seharusnya dimulai dari DPRD sebagai wakil masyarakat adat di
kampung Mandow. Dengan demikian masyarakat
merasa bahwa ada kekuatan kuat yang membacking perjuangan mereka, kerena wakil
mereka telah memulainya melalui berbagai kebijakan dan regulasi yang memiliki
kekuatan hukum. Kita semua selaku penghuni tanah adat di Kabupaten Biak Numfor
juga perlu diberikan penyadaran, betapa pentingnya hak-hak- masyarakat sipil
yang adalah masyarakat adat sendiri yang harus dilindungi sejauh penduduk yang
adalah pendatang dari luar tidak arogan dalam penguasaan tanah karena memiliki
kekuatan modal besar;
(4) bahwa UUD 1945 pasal 33 ayat 3
dapat terwujud ketika implementasi UU 21/2001 diperketat bagi sebesar mungkin
masyarakat adat Biak Numfor dari pada hanya dibuatkan proyek yang menguntungkan
pemilik modal yang pada akhirnya yang menjadi korban adalah masyarakat adat
sendiri yang menjual tanah dengan harga murah demi himpitan ekonomi yang mencekik;
(5) bahwa stigmatisasi terhadap
perjuangan ini jangan sampai pada konsep yang negative. Fakta bahwa kepemilikan
lahan berhektar-hektar oleh ketiga keret di atas tidak dimanfaatkan secara
maksimal. Kembalikan kepada rakyat yang adalah masyarakat adat pemiliknya untuk
diolah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui kehidupan setiap hari.
Demikian beberapa hal yang menjadi
saran yang perlu diperhatikan oleh setiap orang penghuni tanah yang merupakan
hak masyarakat adat Biak terutama distrik Biak Kota dan Samofa yang merupakan
simbol dari kepemilikan tanah seluruh masyarakat adat pemilik Pulau Biak.
Semoga
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya dan terlebih bagi pengambil
kebijakan karena memiliki legitimasi kekuasaan yang diberikan oleh rakyat
kepada mereka.
Biak,
28 Februari 2012
LSM Santa Lusia Biak Numfor,
Paulus Laratmase, S. Sos, MM
Executive Director